Selamat datang di Site Berita Nasional Media Hapra Indonesia . Wartawan Hapra Indonesia dalam menjalankan tugas dibekali kartu wartawan dan bertugas sesuai penempatan yang dikeluarkan oleh Redaksi. Semua Anggota Hapra Indonesia, foto dan nama ada pada situs kami ini, tanpa ada nama dan foto di situs kami, oknkum tersebut BUKAN ANGGOTA HAPRA INDONESIA DAN SEGALA YANG DILAKUKAN DILUAR TANGGUNG JAWAB REDAKSI. LAPORKAN KE PIHAK KEPOLISIAN TERDEKAT

Jumat, 11 Mei 2012

Kapitalisasi Di Balik Perda Galian C Kediri



Kediri | Hapra Indonesia - Bumi,air,udara,serta ruang di belahan bumi di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah dikuasai negara dan diperuntukkan kepada kesejahteraan bangsa Indonesia.
    Kabupaten dan Kota Kediri adalah hamparan wilayah NKRI yang gemah ripah loh jinawi. Meski belum terexplorasi hasil galian tambang emas, manggan seperti di Kecamatan Bendungan Kabupaten Trenggalek, ataupun Tulungagung (gunung Cemenung).
    Namun Kediri (Kabupaten dan Kota) mempunyai kekayaan alam tambang berupa galian C (pasir sungai, pasir uruk dan batu koral) yang melimpah. Bahkan kualitas pasir Kali Brantas di daerah DAS yang melewati dua kota ini terkenal terbaik di Jawa Timur, mengalahkan pasir Bengawan Solo (Madiun-Bojonegoro-Ngawi-Tuban).
    Ribuan Matrik ton pasir Kali Brantas terangkut keluar kota Kediri, itu belum termasuk komoditas pasir uruk DAS kali Kelud di Puncu, dan daerah Kecamatan Banyakan.
    Timbul pertanyaan mendasar, siapa yang paling diuntungkan? Siapa yang berwenang ?. Warga Kediri melalui restribusinya? Ataukah para bandar pasir serta oknum “Penguasa” yang bersemain dengan segelintir Perda yang di plesetkan?.
    Kalangan DPRD Kabupaten Kediri menilai maraknya penambangan pasir di sungai Brantas turut disebabkan inkonsistensi Pemkab dalam menyikapinya. Anggota Komisi B dari Fraksi Partai Demokrat Dwi Naryo mengatakan, "Inkonsistensi itu terlihat dari keberadaan pos-pos pungut retribusi bahan tambang galian C. Di Kabupaten Kediri, pos itu setidaknya terdapat di tujuh titik lokasi. Yaitu Kecamatan Semen" ujarnya.
    Dwi menambahkan, "Mekikis, Kecamatan Purwoasri hingga Trisulo, Kecamatan Plosoklaten dan Kandangan, di Semen dan Purwoasri, pos pungut itu berada di jalur utama yang dilewati truk-truk pengangkut pasir yang diambil dari sungai Brantas" Sambungnya.     “Kalau ada truk lewat dan ditarik, padahal mereka membawa tambang pasir liar kan aneh,” ujarnya. Menurutnya hal itulah yang justru memunculkan anggapan bahwa penambang pasir tanpa izin sah-sah saja.
    Termasuk yang berada di sungai Brantas. Karena itu mestinya pemkab tidak hanya mengejar setoran dengan memungut retribusi dari truk-truk tersebut. Tapi lebih dari itu juga memeriksa legalitas dari pasir yang diangkut.
    “Pos pungut  mestinya bisa menjadi filter. Bukan malah terkesan melegalkan,” katanya. Senada dengan sang Dewan,beberapa elemen masyarakat di kediri pun berceloteh “dilarang kok ada pungutannya?”. Mbok sekalian diperbolehkan tapi membayar dengan jumlah sekian” ujar Khoirudin aktivis lingkungan di Kediri.
    Dwi Naryo, memaparkan data yang dihimpun menyebutkan selama setahun lalu izin pengelolaan galian C termasuk pasir yang dikeluarkan pemkab bertambah banyak. Yaitu dari 4 perijinan di tahun 2010 menjadi 13 perijinan.
    Namun semual lokasinya tidak di sungai brantas. Yang berada di sungai brantas dipastikan illegal karena pempropv jatim tidak pernah mengeluarkannya lagi. Saat ini Pansus I DPRD Kabupaten Kediri sedang membahas perubahan Perda 14/1998 tentang Pajak Pengambilan Dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C.
    Disana nanti akan ditambahkan aturan tentang perijinan. Sebab selama ini proses keluarnya izin penambangan galian C tidak jelas. Patokannya juga banyak yang belum tahu. Revisi perda itu katanya akan menjadi pelengkap dari regulasi yang digunakan untuk menjerat para penambang pasir illegal perusak lingkungan.
    Yaitu UU 4/2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) dan Perda Jatim No. 5/2009 tentang Penambangan Pasir Galian C. “Aturannya harus jelas dan lebih melokal. Makanya perlu diperdakan sendiri,” katanya.
    Tak mau kalah,dari fihak Pemda pun berkilah, pos pungut retribusi galian C tidak ada hubungannya dengan komitmen pemkab dalam melakukan pemberantasan penambangan pasir liar. Berdasar Perda 14 /1998 yang dipungut oleh petugas juga bukan didasarkan jenis muatan akan tetapi berat muatan alias tonasenya.
    “Itu bagian Dispenda,” katanya. Terpisah Kepala Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kabupaten Kediri Joko Suskiono mengatakan, selama ini penerbitan izin sudah melauli standart yang ditetapkan.
    Untuk penambangan pasir, selain sungai Brantas yang jelas dilarang, harus ada prosedur yang membutuhkan persetujuan dari berbagai pihak.
     Diantaranya adalah Dinas Pengairan, Pertambangan dan Energy (Dispertamben) Dinas Pertanian dan lingkungan setempat. “Termasuk soal kondisi tanah, hanya tanah yang sudah tidak produktif yang diperbolehkan untuk diambil pasir atau dikeruk.,” ujarnya.
    Izin itupun sambung Joko memiliki batas waktu. Dengan kretiria luas minimal 1 hektar, izin tambang hanya diberikan selama satu tahun. “Biasanya 3-4 bulan sudah selesai.
    Tidak sampai lama. Yang jelas setelah dikeruk tanah harus dikembalikan dalam konsisi normal,” ujar Plt Kabag Humas Pemkab Kedri Edhi Purwanto.
    Terkait hal ini, aktivis lingkungan Khoirudin memaparkan, ”Apa mereka tidak tahu,bahwa ada UU 3tahun 2009 yang melarang segala aktivitas kegiatan tambang hingga merusak lingkungan ?.
    Apa Pemda sudah mengakaji efek kerusakan dan studi kajian lingkungan dari Revisi Perda itu?. Ini bisa di tuntut,sebab kedepan akan merusak lingkungan Kabupaten. Lihat saja di  Daerah Banyakan, Puncu dan DAS di Mojo. Jalan kampung rusak, akibat alat berat, tangkis ambrol akibat mekanik sedot pasir.
    Itu belum termasuk hilangnya beberapa jenis Species ikan asli di Brantas. Ujar Koirudin. “Kami akan bersinergi dengan aktivis lingkungan lainya bila Pemda masih ngeyel, dan Dewan cendrung Apatis”.
    Terkait,revisi itu,kami juga bisa menuntut atau mengajukan Review ke Kementrian Lingkungan Hidup, karena sudah mengkhianati UU 32 2009” Tegasnya. Kami kawatir ada “cukong” dibalik revisi ini.
    Perlu diketahui, selama ini Pemda selalu mengatakan akan reklamasi, itu untuk siapa ? Dan selama ini juga jalan terus aktivitas pertambangan galian C ilegal, seperti sudah bermain mata dengan institusi yang berwenang. Jadi, tak salah kalau para aktivis menuduh ada Kapitalisasi dibalik Revisi itu. (den)

BERITA SEBELUMNYA

  © HAPRA INDONESIA Media Group ...Berani.Cerdas . Realistis

Ke : HALAMAN UTAMA